Tuesday, December 22, 2009

PELESTARIAN PERIKANAN INDONESIA

Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada sumberdaya
produksi perikanan tangkap dan budidaya guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Namun sumberdaya tersebut saat ini sedang
berada dalam kondisi terancam. Penangkapan ikan yang berlebihan,
tidak mengikuti peraturan/undang-undang, serta tidak dilaporkan
(IUU), menjadi masalah yang sangat serius pada sektor perikanan di
Indonesia, termasuk pada perairan yang berbatasan dengan Australia
ataupun dengan negara tetangga lainnya.

Dalam bidang perikanan budidaya, para petani penggarap udang
di Indonesia telah menghadapi kerugian yang sangat besar sebagai
akibat dari penyakit, masalah penurunan kualitas tanah serta praktek-
praktek pengelolaannya. Diperkirakan sekitar 100.000 hektar tambak
air payau luasan kecil terbengkalai, sehingga banyak petani tidak
memperoleh penghasilan dari budidaya udang tersebut.

Masalah-masalah yang kompleks tersebut mempengaruhi kehidupan
masyarakat Indonesia, yang merupakan negara mitra utama ACIAR.
Oleh sebab itu penelitian dan pengelolaan yang terkoordinasi
merupakan hal yang penting dilakukan agar sektor industri perikanan
budidaya dapat berjalan baik dan memberikan kepastian hasil serta
penghidupan yang lebih baik bagi para petani

Tanggapan Australian Government For International Agricultural Researech (ACIAR)

ACIAR telah menginvestasikan sekitar 20 juta dollar Australia dalam
bidang penelitian dan pengembangan perikanan di Indonesia
sejak tahun 1980-an. Secara keseluruhan terdapat 41 proyek yang
diarahkan pada aspek-aspek penanganan cadangan ikan dari alam
maupun praktek-praktek budidaya perikanan. Investasi kami telah
berkembang menjadi 3 area, termasuk diantaranya adalah kegiatan-
kegiatan yang saling terkait:

Perikanan tangkap

Termotivasi oleh adanya fakta bahwa cadangan ikan semakin
menurun, kegiatan penelitian dan pengembangan difokuskan
pada analisa dan pengumpulan data jumlah tangkapan yang
sahih, serta pengembangan model perikanan untuk memperbaiki
informasi dan pengelolaannya. Proyek ini mencakup tentang
kakap merah, hiu dan ikan pari, tuna dan penangkapan ikan yang
tidak terdata (IUU).

Perikanan Budidaya

Beberapa proyek terdahulu difokuskan pada pemberantasan
penyakit yang sedang merebak sehingga menyebabkan kegagalan
panen yang luarbiasa di bidang budidaya udang. Pada proyek
berikutnya, penelitian difokuskan tidak hanya pada kesehatan
udang, tetapi juga pada kualitas air dan tanah, praktek pengelolaan
yang lebih baik, dan potensi penggunaan tanaman dan komoditas
alternatif untuk mengurangi resiko produksi. Penelitian juga
diarahkan pada penentuan kesesuaian lahan untuk perikanan
budidaya.

Komoditas lainnya

Penelitian dan pengembangan juga meliputi perikanan ikan laut
bersirip, pembudidayaan kepiting bakau serta perikanan waduk.
Kegiatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan praktek budidaya
ikan karang yang bernilai tinggi seperti ikan kerapu. Proyek yang
lain menelaah strategi untuk mengoptimalkan produksi keramba
jaring apung sekaligus mengurangi perselisihan di antara para
petani keramba dan para nelayan ikan yang kurang mampu yang
menggantungkan hidupnya pada penangkapan ikan di waduk-
waduk.

Prakiraan dampak

Studi pengkajian dampak yang dilakukan ACIAR mengenai program
penelitian dan pengembangan perikanan di Indonesia serta dua
proyeknya menunjukkan dampak yang penting dan semaking
berkembang.

Studi pengkajian dampak terhadap pengembangan ikan tuna
menunjukkan potensi keuntungan, dalam besaran nilai bersih
saat ini (Net Present Value – NPV), mencapai sekitar 168 juta dolar
Australia didalam bidang litbang bila dikaitkan dengan investasi
ACIAR. Dilaporkan adanya kemungkinan pengembalian mencapai
sekitar 547 juta dolar Australia dari total investasi yang ditanamkan,
dari hasil pengkajian budidaya udang dari petani skala kecil.

Jangka waktu persiapan proyek ini berlangsung cukup lama dan
perlu dicatat bahwa banyak penelitian yang baru saja diselesaikan
atau masih berlangsung, sehingga pengkajian dampaknya pun
juga sedang dilakukan. Sebagian besar prakiraan pengkajian
dampak didasarkan pada peluang pengembalian modalnya dimasa
mendatang.

Pencapaian utama dari seluruh proyek ditandai dengan adanya
peningkatan kapasitas pada bidang penelitian dan penyuluhan di
Indonesia, serta kemampuan teknis untuk mendukung penelitian di
masa yang akan datang.

Cara pandang baru yang muncul di setiap proyek menghasilkan
perbaikan dalam hal praktek dan teknologi, sehingga pihak terkait
dapat merasakan hasilnya dalam jangka panjang. (Dua hasil studi
pengkajian dampak secara lebih detil dapat dibaca di halaman 2-4
dari lembar fakta ini)


Pengkajian Dampak Satu: Mencegah Penurunan Jumlah Ikan Tuna

Australia dan Indonesia memiliki Zona Ekonomi Ekslusif di bagian
timur Laut Hindia, dimana nilai tangkapan ikan tuna baik tangkapan
komersial maupun ‘artisanal’ mencapai 15% dari total tangkapan
tuna di Laut Hindia.

Namun, sejak tahun 2000, para nelayan melaporkan penurunan
tangkapan beberapa species , baik dalam hal jumlah maupun ukuran
ikannya.

Penurunan ini menunjukkan bahwa penangkapan ikan pada
tingkatan sekarang ini di wilayah tersebut tidaklah lestari dan dapat
menandai kejatuhan bidang perikanan serta mengancam mata
pencaharian masyarakat nelayan.

Daerah ini meliputi sejumlah lokasi kunci bagi spesies tuna, dan di
perairan bagian selatan Jawa Timur dan Bali sangat dikenal sebagai
tempat bertelur bagi ikan tuna bersiripbiru (SBT).

Jika hanya memfokuskan pada indikator jumlah tangkapan dan
ukuran ikan, maka perubahan penting dalam tingkat reproduksi
serta penyebaran populasi ikan tidak akan dapat diketahui. Untuk
memastikan bahwa spesies dan industri perikanan dapat bertahan
melalui praktek manajemen yang lebih baik, para peneliti Indonesia
memerlukan kemampuan yang lebih besar dalam mengawasi,
menganalisa dan melaporkan semua hal yang terkait dengan bidang
perikanan.

Tanggapan dari ACIAR

Tujuan ACIAR adalah menjawab prioritas Indonesia yang sudah
disebutkan dalam melaksanakan pembangunan kapasitas nasional
yang efektif untuk memonitor dan mengkaji data perikanan tuna dan
‘billfish’ (ikan berparuh) guna meningkatkan kemampuannya dalam
melaporkan data tersebut kepada organisasi-organisasi manajemen
internasional.

Dengan bantuan dari CSIRO, pekerjaan ini melibatkan perbaikan dan
perluasan sistem data nasional, pelaksanaan tinjauan data perikanan
secara menyeluruh, dan meningkatkan kemampuan pemerintah
dalam menganalisa, menginterpretasi dan melaporkan data.

Pada tahun 1994 dibentuk Komisi Perlindungan Tuna Bersiripbiru
Wilayah Selatan (CCSBT), untuk memastikan berjalannya konservasi
cadangan tuna bersiripbiru dan optimalisasi pemanfaatannya.

Australia, Jepang, Korea dan Taiwan meminta Indonesia masuk dalam
keanggotaan CCSBT, untuk memastikan pengelolaan perikanan
yang lebih baik. Satu persyaratan utama keanggotaan Indonesia
(dan untuk memperbolehkan penjualan tuna yang berkelanjutan
ke pangsa pasar Jepang, Taiwan, Korea dan US yang bernilai tinggi),
adalah penilaian yang obyektif serta kesepakatan pengelolaan
cadangan ikan tuna.


Membangun pengetahuan dan kapasitas baru

ACIAR bekerjasama dengan CSIRO untuk membentuk program dan
basisdata pengamatan percobaan ilmiah, memberikan pelatihan
pada enam pengamat Indonesia untuk mengumpulkan data
penangkapan dari kapal ‘longline’.

Program tersebut melengkapi sistem pengawasan berbasis
pelabuhan yang telah ada, yang sudah dibangun sebelumnya
melalui dukungan Australia maupun pihak-pihak internasional, serta
pelatihan strata dua bagi para spesialis pengkajian cadangan ikan
tuna dari Indonesia yang masih terus berlangsung hingga kini.

Program ini juga memperlengkapi Departemen Kelautan dan
Perikanan Indonesia dengan peningkatan kemampuan untuk
menganalisa, menafsirkan dan melaporkan data pengkajian jumlah
cadangan.

Pada April 2008 Indonesia diterima sebagai anggota CCSBT dimana
kapasitas dalam menyediakan data yang dapat diandalkan, menjadi
dasar utama keanggotaan tersebut.

Dengan pemodelan yang lebih dapat dipercaya, pengelolaan dan
kelestarian perikanan diharapkan dapat meningkat.

Para nelayan dan konsumen juga akan mendapatkan keuntungan
dari tingkat harga yang lebih murah dan terjaminnya persediaan
ikan dalam jangka waktu yang lebih lama.

Memperkirakan nilai dari dampak

Dengan berlanjutnya pemodelan Litbang dan perikanan ekstensif,
investasi ACIAR diperkirakan menghasilkan potensi keuntungan,
nilai saat ini (PVT) sebesar A$168 juta. Hal ini memperlihatkan
keuntungan sebesar $180 dari setiap $1 yang diinvestasikan, dan
nilai pengembalian internal sebesar 210%.

Keuntungan bagi Indonesia diperkirakan mendekati A$10 juta.
Konsumen yang mendapat keuntungan sebesar $924 juta
diperkirakan termasuk Jepang, Korea dan Taiwan dengan perkiraan
cadangan SBT jangka panjang. Sementara nelayan-nelayan dari
negara-negara tersebut diperkirakan mendapatkan keuntungan
$170 juta. Sedangkan keuntungan yang didapat Australia dan New
Zealand diperkirakan mencapai $30 juta.

Selain keuntungan langsung secara ekonomi, terdapat juga:
keuntungan ekologi secara luas
hubungan yang membaik dengan Australia
keuntungan sosial bagi masyarakat nelayan Indonesia, dengan
pemasukan yang lebih tinggi bagi armada kapal
pemahaman yang lebih baik mengenai species tuna.


Pengkajian Dampak Dua: Remediasi tambak udang

Pada tahun 1980-an Indonesia melakukan investasi yang penting
dalam pertambakan yaitu tambak air payau bagi para petani
penggarap untuk memproduksi udang.

Banyak petani mengubah lahan sawah mereka menjadi tambak,
dengan harapan budidaya tambak akan mengubah kehidupan
mereka karena menghasilkan suatu produk ekspor yang bernilai
tinggi

Satu dekade berikutnya terjadi kejatuhan produksi tambak
udang yang mengenaskan dikarenakan adanya penyakit. Para
petani terpukul oleh hilangnya cadangan udang dalam jumlah
besar sehingga akhirnya menelantarkan tambak-tambak mereka,
menyebabkan sekitar 100.000 ha tambak menganggur hingga saat
ini.

Beberapa petani menjalankan produksi lokal seperti bandeng dan
rumput laut, tetapi mereka harus berusaha keras untuk mendapatkan
pemasukan karena tanah mereka tidak cocok lagi untuk produksi
beras dan juga tidak memungkinkan untuk usaha budidaya tambak.

Tanggapan dari ACIAR

ACIAR telah mendanai lokakarya yang menyelidiki kerugian-kerugian
akibat penyakit. Para peneliti menyadari adanya faktor lain yang
utama yaitu Tanah Sulfat Masam, yang berhubungan dengan tingkat
kerawanan terkena penyakit, mengurangi hasil panenan dan kasus-
kasus kematian secara mendadak.

Sebuah proyek yang dipimpin oleh University of New South Wales,
difokuskan pada teknik remediasi. Proyek selanjutnya difokuskan
pada pengkajian kemampuan dan kesesuaian tanah untuk tambak
udang, pengendalian penyakit dan memperbaiki praktek pengelolaan
lahan budidaya, serta membangun kapasitas teknis dan penyuluhan
(ekstension).

Tim peneliti mengembangkan proses remediasi untuk tambak,
dengan menggabungkan proses pengapuran dan pembersihan,
rotasi dan budidaya tumpangsari, penyediaan benih yang bebas
penyakit dan isolasi.

Tantangan utama yang muncul adalah rendahnya tingkat adopsi
oleh para petani. Kemampuan mereka terhalangi oleh akses yang
terbatas pada pengetahuan yang baru, dan juga biaya dan risiko
yang berhubungan dengan investasi awal remediasi.

Namun, para petani di beberapa tempat sudah berhasil mengadopsi
proses tersebut, dan kuncinya adalah keterlibatan peneliti yang baik
dalam proses pembukaan tambak percontohan serta kerjasama
yang baik dengan para petani.

Pemerintah Indonesia sudah mengumumkan rencana merevitalisasi
industri budidaya tambak yang sedang merana, termasuk remediasi
tambak terlantar untuk produksi udang putih dan udang windu.
Dengan investasi besar yang diusulkan dalam bidang penyuluhan,
penelitian dan pengembangan yang dibiayai oleh ACIAR akan
memberikan masukan yang penting dalam proses perencanaan
pemerintah.


Pelestarian Perikanan Indonesia

Prakiraan dampak

Manfaat sebenarnya dari penelitian dan pengembangan ACIAR akan
tergantung pada tingkatan adopsinya. Sebuah pengkajian dampak
proyek remediasi awal, yang didanai oleh ACIAR, telah berhasil
menorehkan beberapa skenario dalam perencanaan revitalisasi
pemerintah.

Salah satu contoh skenario penurunan biaya terbaik diperkirakan
dapat memberikan keuntungan bagi petani mencapai A$2.000 juta,
dihitung dengan menggunakan nilai saat ini, selama kurun waktu
20 tahun yang akan datang, bila dinas penyuluhan lokal melakukan
penanaman investasi yang cukup besar.

Secara historis, memang cukup sulit untuk mendapatkan dukungan
dari otoritas lokal sehingga perlu diformulasikan skenario yang
dibuat sedikit kurang optimis. Diperkirakan keuntungan hasil saat
ini sebesar A$547 selama 20 tahun. Hal ini berarti setiap 1 dolar
yang diinvestasikan ACIAR, lembaga penelitian di Australia dan di
Indonesia, akan berhasil mengembalikan sebesar $52. Nilai hasil
internal diperkirakan sebesar 26%.

Manfaat bagi para petani dan perencana yang
berkelanjutan

Pencapaian utama dari remediasi yang didanai ACIAR adalah
pengembangan teknologi untuk membantu mengetahui dan
melokalisir tanah sulfat masam serta permasalahan tanah lainnya.

Teknologi ini akan membantu para petani dan pemerintah lokal
menghindari dari kesalahan perencanaan, sehingga mereka mampu
menilai kesesuaian lahan yang lebih baik untuk berbagai macam
jenis produksi.

Pengetahuan yang baru tentang tanah sulfat masam di Indonesia
telah memberikan banyak manfaat bagi Australia, contohnya:
masalah yang sama muncul di wilayah pantai New South Wales, dan
pengetahuan ini sudah dipertimbangkan dalam pengembangan
wilayah pemukiman dan pertanian.

Manfaat utama yang lain dari proyek ini menjadi lebih jelas saat
terjadinya Tsunami pada Boxing Day tahun 2004, dimana banyak
tambak tradisional hancur di Aceh. Para peneliti Indonesia yang
dilatih melalui proyek ACIAR, bekerjasama dengan peneliti Australia,
dapat secara cepat merespon keadaan.

Banyak lembaga-lembaga yang bekerja di area rekonstruksi
mengesampingkan kemungkinan adanya masalah tanah sulfat
masam di Aceh. Pemetaan ekstensif selama proyek ACIAR
berlangsung menunjukkan banyak tambak yang dibangun di atas
area yang berisiko tinggi akan tanah sulfat masam.

Para peneliti juga bekerja dengan badan lain guna memperbaiki
pendekatan-pendekatan mereka dalam menerapkan teknik
konvensional dan pengapuran, dan dalam mempromosikan praktek
pengelolaan dan teknologi pemetaan yang lebih baik. Tanpa
kemampuan ini, kemungkinan pemulihan pertambakan udang di
Aceh akan mengalami penundaan.

No comments: